A. Latar Belakang Dan Pengertian Identitas Nasional
Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas nasional Indonesia belum menunjukkan perkembangan ke arah sifat kreatif serta dinamis. Setelah bangsa
Indonesia mengalami kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai perkembangan ke arah kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami kemerosotan dari segi
identitas nasional. Pada masa mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dihadapkan pada kemelut kenegaraan, sehingga tidak membawa kemajuan bangsa dan
Negara.
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi sekarang ini mendapat tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut
Berger dalam The Capitalis Revolution, era globalisasi sekarang ini ideology kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah
masyarakat satu per satu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung
juga nasib, sosial, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini menurut Fukuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular ke arah
ideologi universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya.
Dalam kondisi seperti ini, Negara nasional akan dikuasai oleh Negara transnasional, yang lazimnya didasari oleh Negara-negara dengan prinsip kapitalisme
(Rosenau). Konsekuensinya Negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat
tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, ciri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh
budaya asing akan menghadapi challance dan response. Jikalau challance cukup besar, sementara response kecil, maka
bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australiadan bangsa Indian di Amerika. Namun demikian, jikalau challance kecil, sementara response besar, maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu, agar
bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi, maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa
Indonesia sebagai dasar pengembangan kreativitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai Negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan
penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
Istilah “Identitas Nasional” secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan
bangsa lain. Berdasarkan pengertian yang demikian ini, maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan,
sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula, hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara
historis. Berdasarkan hakikat pengertian “Identitas Nasional” sebagaimana dijelaskan di atas, maka identitas nasional suatu bangsa atau lebih populer
disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.
Pengertian kepribadian sebagai suatu identitas, sebenarnya pertama kali muncul dari para pakar psikologi. Manusia sebagai individu sulit dipahami manakala
ia terlepas dari manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia dalam melakukan interaksi dengan individu lainnya senantiasa memiliki suatu sifat kebiasaan,
tingkah laku sertakarakter yang khas yang membedakan manusia tersebut dengan manusia lainnya. Namun demikian, pada umumnya pengertian atau istilah
kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor-faktor biologis,psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku
individu. Tingkah laku tersebut terdiri atas kebiasaan, sikap, sifat-sifat serta karakter yang berada pada seseorang sehingga seseorang tersebut berbeda
dengan orang yang lainnya. Oleh karena itu, kepribadian adalah tercermin pada keseluruhan tingkah laku seseorang dalam hubungan dengan manusia lain.
Jikalau kepribadian sebagai suatu identitas dari suatu bangsa, maka persoalannya adalah bagaimana pengertian suatu bangsa itu. Bangsa pada hakikatnya
adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk
bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu “kesatuan nasional”. Para tokoh besar ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang
hakikat kepribadian bangsa tersebut adalah dari beberapa disiplin ilmu, antara lain antropologi, psikologi dan sosiologi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain
Margareth Mead, Ruth Benedict, Ralph Linton, Abraham Kardiner, David Riesman. Menurut Mead dalam “Anthropology to Day” misalnya, bahwa studi
tentang “National Character” mencoba untuk menyusun suatu kerangka pikiran yang merupakan suatu konstruksi tentang bagaimana sifat-sifat yang
dibawa oleh kelahiran dan unsur-unsur ideotyncrotie pada tiap-tiap manusia dan patroon umum serta patron individu dari proses pendewasaannya diintegrasikan
dalam tradisi sosial yang didukung oleh bangsa itu sedemikian rupa, sehingga nampak sifat-sifat kebudayaan yang sama, yang menonjol yang menjadi ciri khas
suatu bangsa tersebut.
Demikian pula tokoh antropologi Ralph Linton bersama dengan pakar psikologi Abraham Kardiner, mengadakan suatu proyek penelitian tentang watak umum suatu
bangsa dan sebagai objek penelitiannya adalah bangsa Maequesesas dan Tanala, yang kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam suatu buku yang berjudul “ The Individual and His Society”. Dari hasil penelitian tersebut dirumuskan bahwa sebuah konsepsi tentang basic personality structure.
Dengan konsepsi itu dimaksudkan bahwa semua unsur watak sama dimiliki oleh warga masyarakat tersebut, karena mereka hidup di bawah pengaruh suatu
lingkungan kebudayaan selama masa tumbuh dan berkembangnya bangsa tersebut.
Linton juga mengemukakan pengertian tentang status personality, yaitu watak individu yang ditentukan oleh statusnya yang didapatkan dari kelahiran
maupun dari segala daya upayanya. Status personality seseorang mengalami perubahan dalam suatu saat, jika seseorang tersebut bertindak dalam
kedudukannya yang berbeda-beda, misalnya sebagai ayah, pegawai, anak laki-laki, pedagang, dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam
hal basic personality structure dari suatu masyarakat, seorang peneliti harus memperhatikan unsur-unsur status personality yang
kemungkinan mempengaruhinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian kepribadian sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari kepribadian
individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut. Oleh karena itu, pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan
pengertian “Peoples Character”, “National Character”, atau “National Identity”. Dalam hubungannya dengan identitas nasional
Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia kiranya sangat sulit jikalau hanya dideskripsikan berdasarkan ciri khas fisik. Hal ini mengingat bangsa Indonesia
itu terdiri atas berbagai macam unsur etnis, ras, suku, kebudayaan, agama, serta karakter yang sejak asalnya memang memiliki suatu perbedaan. Oleh karena
itu, kepribadian bangsa Indonesia sebagai suatu identitas nasional secara historis berkembang dan menemukan jati dirinya setelah Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Namun demikian, identitas nasional suatu bangsa tidak cukup hanya dipahami secara statis mengingat bangsa adalah merupakan kumpulan dari
manusia-manusia yang senantiasa berinteraksi dengan bangsa lain di dunia dengan segala hasil budayanya. Oleh karena itu, identitas nasional suatu bangsa
termasuk identitas nasional Indonesia juga harus dipahami dalam konteks dinamis. Menurut Robert de Ventos sebagaimana dikutip oleh Manuel Castells dalam
bukunya, The Power of Identity, mengemukakan bahwa selain faktor etnisitas, teritorial, bahasa, agama, serta budaya, juga faktor dinamika suatu
bangsa tersebut dalam proses pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, identitas nasional bangsa Indonesia juga harus dipahami dalam
arti dinamis, yaitu bagaimana bangsa itu melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya secara global dengan bangsa-bangsa lain di
dunia internasional.
B. Muatan dan Unsur-unsur Identitas Nasional
1. Muatan-Muatan Identitas Nasional
a.
Pandangan Hidup
Dengan pandangan hidup inilah sesuatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapi dan menetukan arah serta bagaimana cara bangsa itu memecahkan
persoalan-persoalan tadi.
Dengan pandangan hidup yang jelas sesuatu bangsa akan memiliki pedoman dan pegangan bagaimana ia memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial budaya
yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin maju. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula sesuatu bangsa akan membangun dirinya.
Pada akhirnya pandangn hidup suatu bangsa adalah suatu kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenaranya dan
menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkanya. Oleh karena itu pandangan hidup suatu bangsa merupakan masalah yang sangat asasi bagi kekokohan dan
kelestarian suatu bangsa.
Karena pancasila sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia diterima sebagai Dasar Negara yang mengatur hidup
ketatanegaraan. Hal ini tampak dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak berbeda, namun dalam tiga buah UUD yang pernah kita miliki
yaitu dalam pembukaan UUD 1945, Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD sementara Republik Indonesia tahun 1950 pancasila itu tetap
tercantum di dalamnya.
b.
Kepribadian
Berdasarkan hakikat pengertian “identitas nasional” sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan
jatidiri suatu bangsa atau lebih populer disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.
Pengertian kepribadian sebagai suatu identitas sebenarnya pertama kali muncul dari pakar psikologi. Manusia dalam melakukan interaksi dengan individu
lainnya senantiasa memiliki suatu sifat kebiasaan, tingkah laku, serta karakter yang khas yang membedakan manusia tersebut dengan manusia lainnya. Namun
demikian, pada umumnya pengertian atau istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor- faktor biologis,
psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu. Tingkah laku tersebut terdiri atas kebiasaan, sikap, sifat- sifat, serta karakter yang
dimiliki oleh seseorang, sehingga seseorang tersebut berbeda dengan orang yang lainnya. Oleh karena itu, kepribadian seseorang tercermin pada keseluruhan
tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain (Ismaun, 1981: 6).
c.
Filsafat Pancasila
Filsafat pancasila adalah pengetahuan, keyakinan atau pandangan hidup yang dijiwai, didasari, dan mencerminkan identitas pancasila. Filsafat sendiri adalah
induk ilmu karena sebelum adanya ilmu pengetahuan, filsafat merupakan lapangan utama pemikiran dan penyelidikan manusia. Oleh sebab itu, dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, filsafat merupakan acuan dalam melaksanakan pembangunan dan pendidikan. Pancasila sebagai ideologi Negara merupakan system rujukan
dan tatanan kehidupan bangsa.
d.
Ideologi
Ideologi Negara adalah consensus warga Negara tentang nilai-nilai dasar Negara yang ingin diwujudkan melalui kehidupan Negara itu. ( Heuken, 1998 )
Ideologi Negara ini akan mampu bertahan jika memiliki 3 dimensi yaitu realita/kenyataan, idealism dan fleksibilitas. Realita mencerminkan realita kehidupan
masyarakat. Idealisme merupakan idealism yang ada dalam ideology, dan fleksibilitas merupakan kemampuan ideologi untuk mempengaruhi dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat.
e.
Dasar Negara
Dasar Negara merupakan fundamen yang kokoh bersumber dari pandangan hidup atau falsafah dari peradaban, kebudayaan, keluhuran budi dan kepribadian yang
tumbuh dalam sejarah perkembangan yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dasar Negara Indonesia yaitu pancasila secara resmi ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, bersamaan dengan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi
Negara oleh PPKI. Secara rinci rumusan pancasila tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
f.
Norma-norma
Norma adalah aturan atau kaidah tentang hak dan kewajiban individu sebagai anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Kaidah tersebut dapat
berupa perintah ataupun larangan. Norma-norma yang dikenal luas di masyarakat ada 4 yaitu :
· Norma agama : peraturan hidup berupa perintah dan larangan Tuhan yang harus diterima manusia. Hukuman bagi pelanggarnya adalah mendapat siksa dari Tuhan
kelak di akhirat.
· Norma kesusilaan : Peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Pelanggaran norma ini merupakan pelanggaran perasaan yang mengakibatkan
penyesalan.
· Norma kesopanan : timbul dan diadakan oleh masyarakat untuk mengatur pergaulan agar tercipta suasana saling hormat menghormati.Norma ini sering disebut
juga sopan santun, tata karma dan adat istiadat. Norma ini berlaku secara regional saja dan tidak bagi seluruh masyarakar dunia.
· Norma hukum : peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan Negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat
dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat Negara. Sumber norma hukum dapat berasal dari peraturan perundangan, yurisprudensi, kebiaasaan, doktrin
dan agama.
g.
Rule of law
Rule of law adalah aturan hukum juga disebut supremasi hukum, berarti bahwa hukum diatas semua orang dan itu berlaku bagi semua orang. Apakah gubernur atau
diatur, apakah penguasa atau dikuasai, tidak ada yang diatas hukum, tidak ada yang dibebaskan dari hukum, dan tidak ada yang dapat memberikan dispensasi
untuk penerapan hukum.
Negara demokrasi pada dasarnya adalah Negara hukum .
Ciri Negara hukum antara lain :
- adanya supremasi hukum ,
- jaminan hak asasi manusia dan legalitas hukum
h.
Hak dan kewajiban warga Negara
Hak dan kewajiban warga Negara adalah hak dan kewajiban warga Negara terhadap Negara dan pemerintahan yang sah. Kewajiban warga Negara diantaranya adalah
membela negara dan pemerintahan, mentaati hukum dan pemerintahan,
Sedangkan hak warga negara diantaranya adalah mendapatkan penghidupan yang layak, mendapatkan jaminan hukum, mendapatkan pekerjaan, mendapatkan pendidikan
yang layak,bebas menjalankan ibadah.
i.
Demokrasi/ Hak asasi manusia
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah
adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam
sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus
merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang.
j.
Etika politik
Keterkaitan etika dan politik sangat erat karena politik tanpa etika tentunya akan melahirkan dampak negative yang tersistematis. Perlu kita cermati fakta
yang terjadi dilapangan bahwa beberapa kasus politik disebabkan oleh hilangnya ruh etika pada diri seorang politisi. Keterpurukan etika inilah menyebabkan
maraknya kercurangan seperti politik uang, kampanye negative, pembohongan masyarakat, janji kepalsuan dan perang
kata-kata.
Merosotnya etika para aktor politik membuat masyarakat Indonesia gelisah dalam menggapai kemakmuran dan kesejahteraan sesuai dengan apa yang dicita-citakan
oleh para pendiri republik. Pelaku politik cenderung hanya berbicara kepentingan praktis. Padahal dalam setiap ruang dan waktu terdapat batasan perilaku
manusia yang dirumuskan dalam sebuah tata nilai berkehidupan.
Penanaman etikalah yang perlu diindahkan oleh semua pelaku politik tanpa terkecuali. Biar bagaimanapun juga, praktek politik tidak akan pernah mencapai
posisi ideal jika melupakan prinsip-prinsip etika. Etikalah yang akan mengarahkan kearah yang lebih baik karena etika akan berperan sebagai pengendali
setiap gerak langkah.
k.
Geo politik Indonesia
Geo politik berasal merupakan ilmu penyelenggaraan Negara yang setiap kebijakannya berkaitan dengan masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu
bangsa. Geo politik biasa juga disebut dengan wawasan nusantara. Geo politik diartikan sebagai system politik atau peraturan-peraturan dalam wujud
kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografi, wilayah atau teritori suatu negara, yang apabila dilaksanakan akan
berdampak langsung kepada system politik suatu negara.
2. Unsur-Unsur Pembentuk Identitas Nasional
- Suku Bangsa
Suku bangsa adalah golongan sosial yang khusus bersifat ada sejak lahir, yang sama coraknya dengan umur dan jenis kelamin. Ciri-ciri khusus tersebut muncul
dalm interaksi berdasarkan pengakuan oleh warga suku bangsa yang bersangkutan dan diakui oleh suku bangsa lainnya. Di Indonesia sendiri terdapat banyak
sekali suku bangsa dengan tidak kurang 300 dialeg bahasa.
- Agama
Bangsa kita dikenal sangat agamis, dengan dengan 6 agama yang diakui yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Agama sendiri adalah sistem
yang mengatur tata keimanan dan peribadatan terhadap Tuhan yang Maha Esa, Hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya.
- Kebudayaan
Kebudayaan adalah pengetahuan yang meliputi patokan nilai-nilai etika, moral, baik yang ideal ataupun yang seharusnya, operasioanal maupun aktual dalam
kehidupan sehari-hari.
- Bahasa
Bahasa merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain, dan dibentuk atas unsur-unsur bunyi maupun ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana
interaksi antar manusia. Baik secara lisan, tulisan maupun gerakan.
C. Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas Nasional
a.
Globalisasi
Adanya Era Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Era Globalisasi tersebut mau tidak mau, suka atau tidak suka telah
datang dan menggeser nilai-nilai yang telah ada. Nilai-nilai tersebut baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Ini semua merupakan ancaman,
tantangan dan sekaligus sebagai peluang bagi bangsa Indonesia untuk berkreasi, dan berinovasi di segala aspek kehidupan.
Di Era Globalisasi pergaulan antar bangsa semakin ketat. Batas antar negara hampir tidak ada artinya, batas wilayah tidak lagi menjadi penghalang. Di dalam
pergaulan antar bangsa yang semakin kental itu akan terjadi proses alkulturasi, saling meniru dan saling mempengaruhi antara budaya masing-masing. Yang
perlu kita cermati dari proses akulturasi tersebut apakah dapat melunturkan tata nilai yang merupakan jati diri bangsa Indoensia. Lunturnya tata nilai
tersebut biasanya ditandai oleh dua faktor yaitu :
1) Semakin menonjolnya sikap individualistis yaitu mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum, hal ini bertentangan dengan azas
gotong-royong.
2) Semakin menonjolnya sikap materialistis yang berarti harkat dan martabat kemanusiaan hanya diukur dari hasil atau keberhasilan seseorang dalam
memperoleh kekayaan. Hal ini bisa berakibat bagaimana cara memperolehnya menjadi tidak dipersoalkan lagi. Bila hal ini terjadi berarti etika dan moral
telah dikesampingkan.
Arus informasi yang semakin pesat mengakibatkan akses masyarakat terhadap nilai-nilai asing yang negatif semakin besar. Apabila proses ini tidak segera
dibendung akan berakibat lebih serius dimana pada puncaknya mereka tidak bangga kepada bangsa dan negaranya.
Pengaruh negatif akibat proses akulturasi tersebut dapat merongrong nilai-nilai yang telah ada di dalam masyarakat kita. Jika semua ini tidak dapat
dibendung maka akan mengganggu ketahanan di segala aspek bahkan mengarah kepada kreditabilitas sebuah ideologi. Untuk membendung arus globalisasi yang
sangat deras tersebut kita harus berupaya untuk menciptakan suatu kondisi (konsepsi) agar ketahanan nasional dapat terjaga. Dengan cara membangun sebuah
konsep nasionalisme kebangsaan yang mengarah kepada konsep Identitas Nasional
b.
Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas Nasional.
Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu negara dengan negara yang lain menjadi semakin tinggi. Dengan demikian kecenderungan
munculnya kejahatan yang bersifat transnasional menjadi semakin sering terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain terkait dengan masalah narkotika,
pencucian uang (money laundering), peredaran dokumen keimigrasian palsu dan terorisme. Masalah-masalah tersebut berpengaruh terhadap nilai-nilai
budaya bangsa yang selama ini dijunjung tinggi mulai memudar. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merajalelanya peredaran narkotika dan psikotropika
sehingga sangat merusak kepribadian dan moral bangsa khususnya bagi generasi penerus bangsa. Jika hal tersebut tidak dapat dibendung maka akan mengganggu
terhadap ketahanan nasional di segala aspek kehidupan bahkan akan menyebabkan lunturnya nilai-nilai identitas nasional.
D. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Integrasi Nasional
Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan
secara nasional. Sedangkan Identitas nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa
tersebut dengan bangsa yang lain. Antara Integrasi nasional dan identitas nasional negara Indonesia sangatlah tekait. Mengapa? Karena Indonesia terdiri
dari berbagai macam suku yang disatukan melalui persatuan dibawah bendera merah putih dan ‘Bhineka Tunggal Ika’ melalui proses ini terjadi proses integrasi
nasional dimana perbedaan yang ada dipersatukan sehingga tercipta keselarasan. Persatuan dari kemajemukan suku inilah yang menjadi salah satu ciri khas
bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain. Sehingga adanya kompleksitas perbedaan suku yang bersatu di Indonesia dijadikan sebagai identitas
bangsa sebagai bangsa yang majemuk yang kaya akan suku, tradisi dan bahasa dalam wujud semboyang ‘Bhineka Tunggal Ika’, berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Jadi, antara integrasi nasional dan identitas nasional memiliki keterkaitan, karena dalam hal ini, di Indonesia Integrasi nasional di jadikan sebagai salah
satu identitas nasional dimana konsep ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang merupakan hasil dari integrasi nasional dijadikan sebagai identitas nasional, semboyang
ini tidak akan pernah ada di negara lain, semboyang ini hanya ada di Indonesia dan menjadi identitas bangsa yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa
yang lainnya.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak
positif bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan
rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang
melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan multi dimensional. Untuk mewujudkannya diperlukan keadilan, kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa dan sebagainya. Sebenarnya upaya membangun keadilan, kesatuan dan persatuan bangsa merupakan
bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas politik disamping upaya lain seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam menentukan komposisi dan
mekanisme parlemen.
Dengan demikian upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap perlu terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang diinginkan. Upaya
pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu karena pada hakekatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan tingkat kuatnya persatuan dan
kesatuan bangsa yang diinginkan. Pada akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin terwujudnya negara yang makmur, aman dan
tentram. Jika melihat konflik yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat dan Papua merupakan cermin dan belum terwujudnya Integrasi Nasional yang
diharapkan. Sedangkan kaitannya dengan Identitas Nasional adalah bahwa adanya integrasi nasional dapat menguatkan akar dari Identitas Nasional yang sedang
dibangun.
E. Paham Nasionalisme Kebangsaan sebagai paham yang mengantarkan pada konsep Identitas Nasional
Paham Nasionalisme atau paham Kebangsaan terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial. Semangat
nasionalisme dihadapkan secara efektif oleh para penganutnya dan dipakai sebagai metode perlawanan, seperti yang disampaikan oleh Larry Diamond
dan Marc F Plattner, para penganut nasionalisme dunia ketiga secara khas menggunakan retorika anti kolonialisme dan anti imperalisme. Para
pengikut nasionalisme tersebut berkeyakinan bahwa persamaan cita-cita yang mereka miliki dapat diwujudkan dalam sebuah identitas politik atau kepentingan
bersama dalam bentuk sebuah wadah yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian bangsa atau nation merupakan suatu badan wadah yang di dalamnya
terhimpun orang-orang yang mempunyai persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki seperti ras, etnis, agama, bahasa, dan budaya. Unsur
persamaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas politik bersama atau untuk menentukan tujuan organisasi politik yang dibangun berdasarkan geopolitik
yang terdiri atas populasi, geografis dan pemerintahan yang permanen yang disebut negara atau state.
Nation-state
atau negara-bangsa merupakan sebuah bangsa yang memiliki bangunan politik (political building) seperti ketentuan-ketentuan perbatasan teritorial,
pemerintahan yang sah, pengakuan luar negeri dan sebagainya. Munculnya paham nasionalisme atau paham kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
situasi soisal politik dekade pertama abad ke-20. Pada waktu itu semangat menentang kolonialisme Belanda mulai bermunculan di kalangan pribumi. Cita-cita
bersama untuk merebut kemerdekaan menjadi semangat umum di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional untuk memformulasikan bentuk nasionalisme yang sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Paham Nasionalisme di Indonesia yang disampaikan oleh Soekarno yang disuarakan adalah bukan nasionalisme yang berwatak sempit, tiruan dari Barat, atau
berwatak chauvinism. Nasionalisme yang dikembangkan Soekarno bersifat toleran, bercorak ketimuran, dan tidak agresif sebagaimana nasionalisme yang
dikembangkan di Eropa. Selain mengungkapkan keyakinan watak nasionalisme yang penuh nilai-nilai kemanusiaan, juga meyakinkan pihak-pihak yang berseberangan
pandangan bahwa kelompok nasional dapat bekerja sama dengan kelompok manapun baik golongan Islam maupun Marxis. Sekalipun Soekarno seorang muslim tetapi
tidak sekedar mendasarkan pada perjuangan Islam, menurutnya kebijakan ini merupakan pilihan terbaik bagi kemerdekaan maupun bagi masa depan seluruh bangsa
Indonesia. Semangat nasionalisme Soekarno tersebut mendapat respon dan dukungan luas dari kalangan intelektual muda didikan barat semisal Syahrir dan
Mohammad Hatta yang kemudian semakin berkembang paradigmanya sampai sekarang dengan munculnya konsep Identitas Nasional, sehingga bisa dikatakan bahwa
Paham Nasionalisme atau Kebangsaan disini adalah merupakan refleksi dari Identitas Nasional.
Yang diprihatinkan disini adalah adanya perdebatan panjang tentang paham nasionalisme kebangsaan dimana mereka mempunyai kesepakatan perlunya paham
nasionalisme kebangsaan namun dalam konteks yang berbeda mengenai masalah nilai atau watak nasionalisme Indonesia.
F. Revitalisasi Pancasila sebagai Pemberdayaan Identitas Nasional
a.
Revitalisasi Pancasila
Revitalisasi Pancasila
sebagaimana manifestasi Identitas Nasional pada gilirannya harus diarahkan juga pada pembinaan dan pengembangan moral, sedemikian rupa sehingga moralitas
Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah dalam upaya untuk mengatasi krisis dan disintegrasi yang cenderung sudah menyentuh ke semua segi dan sendi
kehidupan, dan harus kita sadari bahwa moralitas Pancasila akan menjadi tanpa makna, menjadi sebuah “karikatur” apabila tidak disertai dukungan suasana
kehidupan di bidang hukum secara kondusif. Antara moralitas dan hukum memang terdapat korelasi yang sangat erat, dalam arti bahwa moralitas yang tidak
didukung oleh kehidupan hukum yang kondusif akan menjadi subjektivitas yang satu sama lain akan saling berbenturan, sebaliknya ketentuan hukum yang disusun
tanpa disertai dasar dan alasan moral akan melahirkan suatu legalisme yang represif, kontra produktif dan bertentangan dengan nilai- nilai Pancasila itu
sendiri.
Dalam merevitalisasi Pancasila sebagai manifestasi Identitas Nasional, penyelenggaraan MPK hendaknya dikaitkan dengan wawasan:
1) Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religiusitas, sebagai dasar dan arah pengembangan sesuatu profesi.
2) Akademis, untuk menunjukkan bahwa MPK merupakan aspek being yang tidak kalah pentingnya bahkan lebih penting daripada aspek having dalam
kerangka penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang bukan sekedar instrumen melainkan adalah subjek pembaharuan dan pencerahan.
3) Kebangsaan, untuk menumbuhkan kesadaran nasionalismenya agar dalam pergaulan antar bangsa tetap setia kepada kepentingan
bangsanya, bangga dan respek kepada jatidiri bangsanya yang memilki ideologi tersendiri.
4) Mondial, untuk menyadarkan bahwa manusia dan bangsa di masa kini siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam masyarakat
dunia yang “terbuka”. Mampu untuk segera beradaptasi dengan perubahan yang terus menerus terjadi dengan cepat, dan mampu pula mencari jalan keluarnya
sendiri dalam mengatasi setiap tantangan yang dihadapi, sebab dampak dan pengaruh perkembangan Iptek yang bukan lagi hanya sekedar sarana, melainkan telah
menjadi sesuatu yang substantif yang dalam kehidupan umat manusia bukan hanya sebagai tantangan melainkan juga peluang untuk berkarya.
b.
Pemberdayaan Identitas Nasional
Dalam rangka pemberdayaan Identitas Nasional kita, perlu ditempuh melalui revitalisasi Pancasila. Revitalisasi sebagai manifesatsi Identitas Nasional
mengandung makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan, dieksplorasikan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yang
meliputi:
v Realitas: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonsentrasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kampus utamanya, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im sollen dan das sollen im sein.
v Idealitas: dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan di objektivasikan sebagai “kata
kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok yang lebih baik, melalui
seminar atau gerakan dengan tema “Revitalisasi Pancasila”.
v Fleksibilitas: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan “tertutup”menjadi sesuatu yang sakral, melainkan terbuka
bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan jaman yang terus-menerus berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi
tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”,
sebagaimana dikembangkan di Pusat Studi Pancasila (di UGM), Laboratorium Pancasila (di Universitas Negeri Malang).
Sehingga dengan demikian agar supaya Identitas Nasional dapat difahami oleh masyarakat sebagai penerus tradisi dengan nilai-nilai diwariskan oleh nenek
moyang kita, maka pemberdayaan nilai-nilai ajarannya harus bermakna dalam arti relevan, dan fungsional bagi kondisi aktual yang sedang berkembang dalam
masyarakat. Perlu kita sadari bahwa umat manusia masa kini hidup di abad XXI, yaitu jaman baru juga sarat dengan nilai-nilai baru yang tidak saja berbeda,
tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai lama sebagaimana diwariskan oleh nenek moyang dan dikembangkan para pendiri negara kita. Abad XXI sebagai jaman
baru mengandung arti sebagai jaman dimana umat manusia semakin sadar untuk berfikir dan bertindak secara baru.
Dengan kemampuan refleksinya manusia menjadikan rasio sebagai mitos, sebagai sarana yang handal dalam bersikap dan bertindak dalam memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Kesahihan tradisi, juga nilai-nilai spiritual yang dianggap sakral kini dikritisi dan dipertanyakan
berdasarkan visi dan harapan tentang masa depan yang lebih baik. Nilai-nilai budaya yang diajarkan oleh nenek moyang kita tidak hanya kita warisi sebagai
barang sudah “jadi” yang berhenti dalam kebekuan normatif dan nostalgik, melainkan harus diperjuangkan dan terus menerus harus kita tumbuhkan dalam dimensi
ruang dan waktu yang terus berkembang dan berubah.
Dalam kondisi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai
macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitas dirinya sebagai dasar negara atau pun sebagai manifestasi Identitas Nasional, namun demikian
perlu segera kita sadari bahwa tanpa suatu “platform” dalam format dasar negara atau ideologi, maka mustahil suatu bangsa akan dapat survive
menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang menyertai derasnya arus globalisasi yang melanda ke seluruh dunia.
Melalui revitalisasi Pancasila sebagai wujud pemberdayaan Identitas Nasional inilah, maka Identitas Nasional dalam alur rasional-akademik tidak saja segi
tekstual melainkan juga segi konstekstualnya dieksplorasikan sebagai referensi kritik sosial terhadap berbagai penyimpangan yang melanda masyarakat kita
dewasa ini. Untuk membentuk jati diri maka nilai-nilai yang ada tersebut harus digali dulu misalnya nilai-nilai agama yang datang dari Tuhan dan
nilai-nilai yang lain misalnya gotong royong, persatuan kesatuan, saling menghargai menghormati, yang hal ini sangat berarti dalam memperkuat rasa
nasionalisme bangsa. Dengan saling mengerti antara satu dengan yang lain maka secara langsung akan memperlihatkan jati diri bangsa kita yang akhirnya
mewujudkan identitas nasional kita.
Sementara itu untuk mengembangkan jati diri bangsa dimulai dari nilai-nilai yang harus dikembangkan yaitu nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, berani
mengambil resiko, harus bertanggung jawab terhadap apa yang boleh dilakukan, adanya kesepakatan dan berbagai terhadap sesama. Untuk itu perlu perjuangan
dan ketekunan untuk menyatukan nilai, cipta, rasa dan karsa itu. (Soemarno, Soedarsono).
Disinilah letak arti pentingnya penyelengaraan MPK dalam kerangka pendidikan tinggi untuk mengembangkan dialog budaya dan budaya dialog mengantarkan
lahirnya generasi penerus yang sadar dan terdidik dengan wawasan nasional yang menjangkau jauh ke masa depan. MPK harus kita manfaatkan untuk mengembalikan
identitas nasional kita, yang di dalam pergaulan antar bangsa dahulu kita dikenal sebagai bangsa yang paling “halus” atau sopan di bumi” het zachste volk ter aarde”.(Wibisono Koento: 2005) Dari nilai-nilai budaya tersebut mempunyai asumsi dasar bahwa menjadi bangsa Indonesia tidak
sekedar masalah kelahiran saja tetapi juga sebuah pilihan yang rasional dan emosional yang otonom.